Pengolahan Biji Kurma Menjadi Tepung Upaya Penurunan Timbulan Limbah Padat di Pabrik Sari Kurma

Semakin tingginya taraf hidup masyarakat sejalan dengan kepadatan penduduk juga semakin meningkat yang menyebabkan munculnya kebutuhan masyarakat yang beranekaragam. Berbagai upaya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, salah satunya adalah dengan membangun industri yang mengolah bahan baku menjadi berbagai produk yang dibutuhkan oleh masyarakat (Amin, 2004). Suatu proses produksi bahan baku menjadi produk tidak selalu bahan baku dapat diolah menjadi hasil yang diinginkan. Banyak faktor yang mempengaruhi jalannya suatu proses produksi sehingga kegiatan industri tidak berjalan dengan sempurna. Hal inilah yang menyebabkan munculnya produk samping dan sisa-sisa bahan yang tidak diinginkan yang disebut sebagai limbah (Moss, 1980). Limbah yang dihasilkan baik berupa limbah padat, cair, maupun gas. Masing-masing dari jenis limbah tersebut memiliki kandungan bahan pencemar yang berbahaya bagi lingkungan. Kadar pencemar limbah yang berasal dari setiap industri sangat bervariasi tergantung dari jenis dna besar kecilnya suatu industri serta kandungan zat sesuai dengan jenis bahan yang dipergunakan dalam industri (Indriadi, 2000). Salah satu industri pengolahan pangan yang menghasilkan limbah adalah industri sari kurma.

Kurma (Phoenix dactylifera L) merupakan salah satu tanaman tertua yang dibudidayakan manusia. Tanaman ini memiliki peranan penting dalam kehidupan ekonomi dan sosiak masyarakat di daerah kering dan semi kering di dunia. Banyak orang percaya bahwa khasiat buah dari tanaman kurma baik untuk kesehatan. Sebagian dari komoditi buah kurma impor di Indonesia digunakan sebagai bahan baku pada industri pengolahan buah kurma, seperti industri sari kurma, selai kurma, kurma dalam kemasan, dan lain-lainnya. Kegiatan produk industri tersebut menghasilkan hasil samping yang berupa biji kurma sehingga industri membuang hasil samping tersebut. Menurut Hamada et al (2002), di Amerika Serikat, biji kurma menjadi masalah pada industri pengolahan buah kurma sebagai aliran limbah. Komponen biji kurma dalam suatu produk buah kumra adalah kira-kira 10% dari buah kurma (Almana dan Mahmoud, 2006). Pengolahan biji kurma menjadi suatu produk sangat diperlukan untuk memberikan nilai tambah dari biji kurma tersebut sehingga dapat menjadi pendapatan lebih bagi industri pengolahan buah kurma. Biji mengandung 71,9 – 73,4% karbohidrat, 5 – 6,3% protein, dan 9,9 – 13,5% lemak (Hamada et al., 2002). Hal inilah yang menjadi nilai yang cukup potensial bagi biji kurma yang dapat meningkatkan nilai ekonomis biji kurma dan memperpanjang umur simpan produk, serta memudahkan penggunaannya dalam aplikasi produk pangan.

            Biji kurma merupakan biji dengan satu lembaga (monokotil). Biji kurma tidak memiliki aroma atau tidak berbau dan memiliki rasa hambar yang sedikit pahit. Umumnya biji kurma memiliki warna coklat terang dan coklat gelap (Hamada et al., 2002). Beberapa asam amino yang terkandung dalam biji kurma, yaitu alanine, arginine, aspartic, acid, aspartamine, glumatic acid, glycine, histidine, isoleusine, leucine, lysine, methionine, phenylalanine, serine, threonine, thrytophan, tyrosine, dan valine (Al-Shahib dan Marshall, 2003). Selain itu, biji kurma mengandung ion-ion mineral, seperti natrium, kalium, magnesium, kalsium, ferum atau besi, mangan, zinc, cuprum, nikel, tembaga, dan kadmium. Ion mineral yang paling banyak terkandung pada biji kurma adalah ion kalium, magnesium, dan natrium (Ali-Mohamed dan Khamis, 2004). Biji kurma mengandung vitamin dan serat (dietary fiber) dengan persentase yang cukup tinggi, yaitu sebesar 6,4 – 11,5% (Al-Shahib dan Marshall, 2003). Vitamin dan serat sangat baik untuk kesehatan sehingga cukup prospektif untuk dijadikan produk pangan yang sehat. Selain itu, biji kurma juga menjadi sumber alternatif serat yang prospektif dibandingkan dengan dedak gandum sehingga dapat memberikan kontribusi yang berharga untuk pangan berserat (Almana dan Mahmoud, 2006).            

Pengolahan biji kurma yang tepat adalah mengolah menjadi tepung biji kurma yang dapat digunakan sebagai bahan baku atau sebagai tepung komposit untuk memproduksi produk pangan, seperti kue kering atau biskuit. Nutrisi dan nilai gizi yang lebih pada tepung biji kurma akan menciptakan produk pangan yang sehat. Biji kurma dapat diolah menjadi tepung atau dalam bentuk serbuk. Tahapan proses pengolahan adalah sebagai berikut, pertama-tama dilakukan pemisahan biji kurma dengan daging buah kurma, penyimpanan biji pada suhu 10oC, perendaman, dan pencucian biji dengan air, penirisan, pengeringan biji pada suhu 50oC, lalu penggilingan biji dengan mesin grinder sehingga dihasilkan biji kurma dalam bentuk serbuk atau tepung (Bouaziz et al., 2010). Adapun cara lain atau proses tambahan dalam pengolahan biji menjadi tepung sehingga biji mudah untuk digiling dan menghasilkan warna yang baik. Proses tambahan tersebut adalah dilakukan proses sulfurasi dan blanching.

Proses sulfurasi atau pengawetan perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi pencoklatan pada bahan dan mencegah pertumbuhan bakteri (Fennema, 1996). Sulfurasi merupakan proses penambahan sulfur dioksida pada bahan pangan sebelum dikeringkan. Tujuan dari sulfurasi adalah untuk mempertahankan warna dan mencegah terjadinya reaksi pencoklatan non enzimatis atau enzimatis, menghambat pertumbuhan mikroba, sebagai antioksidan dan sebagai zat pemucat (Eskin et al., 1971). Timbulnya reaksi pencoklatan enzimatis karena adanya konversi senyawa fenolat menjadi melanin yang berwarna coklat dengan bantuan enzim polifenol, oksidase atau fenolase. Reaksi tersebut membutuhkan oksigen sebagai akseptor H2 dan ion tembaga sebagai katalisator, oleh karena itu pencegahan reaksi tersebut dilakukan penghilangan atau pengurangan oksigen yang tersedia di sekitar bahan. Cara yang sederhana adalah dengan cara perendaman. Bahan yang biasa digunakan pada sulfurasi adalah sulfit. Ada enam macam bahan kimia dari golongan sulfit yang telah ditetapkan oleh CFR (Code of Federal Regulations) sebagai bahan aditif, yaitu sulfur dioksida (SO2), natrium sulfit (Na2SO3), natrium bisulfit (NaHSO3), natrium metabisulfit (Na2S2O5), kalium bisulfit (KHSO3), dan kalium metabisulfit (K2S2O5). Keenam bahan aditif tersebut telah dinyatakan sebagai GRAS (Generally Recognized as Safe) (Ping, 1994). Sulfur dioksida dari natrium bisulfit dalam larutan membentuk asam sulfit yang pada pH rendah berfungsi sebagai pengawet (Fennema, 1996). Sebagai pencegah pencoklatan non enzimatis, natrium bisulfit memblokade reaksi karbonil amino sehingga reaksi Maillard tidak terjadi. Proses pencegahan ini akan lebih efektif, jika digabungkan dengan proses blanching. Penggunaan sulfit sebagai pengawet ini tidak terlalu berbahaya terhadap tubuh, karena sulfit akan dicerna menjadi sulfat dan dikeluarkan dalam urine tanpa efek patologis. Pengolahan yang dilakukan adalah biji direndam dalam larutan natrium bisulfit (NaHSO3) 1000 ppm pada suhu 28-30oC. perendaman ini dilakukan selama 24 jam.

            Selanjutnya, proses blanching merupakan proses yang dapat melunakkan suatu jaringan bahan sehingga bahan akan lebih mudah dihancurkan (Salunkhe, 1976). Proses ini dilakukan dengan cara merebus biji kurma dengan air panas bersuhu 80-90oC selama 5-10 menit. Setelah proses blanching, dilakukan proses pengeringan yang merupakan proses pindah panas dari udara pengering ke bahan dan kandungan air bahan secara stimultan. Proses ini dapat menurunkan kadar air pada bahan sampai batas tertentu sehingga dapat mengurangi kerusakan bahan akibat aktivitas biologis. Suhu pengeringan yang dipakai bervariasi untuk setiap bahan. Kandungan air pada bahan dikurangi sampai kadar air setara dengan nilai aktivitas air (Aw) yang aman dari kerusakan biologis, enzimatik, dan kimiawi. Biji kurma dikeringkan menggunakan oven drying pada suhu 50-60oC selama 24 jam. Kemudian, dilakukan proses penggilingan biji kurma menggunakan mesin disc mill untuk menghaluskan biji tersebut dan tepung biji kurma yang dihasilkan diayak menggunakan ayakan 65 mesh (SNI 3751:2009). Hasil yang didapatkan dari pengolahan biji kurma menjadi tepung adalah rendeman yang dihasilkan sebesar 31,32%, derajat putih 53,83%, nilai densitas kamba sebesar 0,43 g/mL, tidak terdapat cemaran serangga/kutu pada tepung, kadar air sebesar 7,52% (b.k), kadar abu sebesar 1,19% (b.k), kadar protein sebesar 5,03 % (b.k), kadar lemak sebesar 12,37% (b.k), kadar serat kasar sebesar 12,74% (b.k), kadar karbohidrat sebesar 68,64% (b.k), kadar pati sebesar 37,63% (b.k), dan nilai total asam sebesar 2,42 ml NaOH 0,1 N/100 g (b.k). Hasil analisis yang didapatkan dapat dikatakan bahwa tepung biji kurma dapat digunakan sebagai bahan baku walaupun banyak faktor yang harus diteliti untuk daya simpan tepung tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Almana HA dan Mahmoud RM. 1994. Palm date seeds as an alternative source of dietary fibre in Saudi bread. Ecology of Food and Nutrition 32: 261 – 270.

Al-Shahib W dan Marshall RJ. 2003. The fruit of the date palm: its possible use as the best food for the future. International Journal of Food Sciences and Nutrition 54 (4): 247 – 259.

Ali-Mohamed AY dan Khamis AS. 2004. Mineral ion content of the seeds of six cultivars of Bahraini date palm (Phoenix dactylifera). Journal of Agricultural and Food Chemistry 52: 6522 – 6525.

Amin K. 2004. Analisis Kualitas Limbah Cair PT. Gunung Madu Plantations Secara Fisik dan Kimia Pada Sungai Putak. [Skripsi]. Lampung: Universitas Lampung

Bouaziz MA, Amara WB, Attia H, Blecker C, dan Besbes S. 2010. Effect of the addition of defatted date seeds on wheat dough performance and bread quality. Journal of Texture Studies 41 (4): 511 – 531.

BSN. 2009. Tepung Terigu Sebagai Bahan Makanan (SNI 3751:2009). Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

Eskin NAM. 1971. Biochemistry of Food. New York: Academic Press.

Fennema OR. 1996. Food Chemistry, Third Edition. New York Basel Hongkong: Marcel dekker, Inc.

Hamada JS, Hashim IB, dan Sharif FA. 2002. Preliminary analysis and potential uses of date pits in foods. Food Chemistry 76: 135 – 137.

Indriadi D. 2000. Dasar-Dasar Pengelohan Limbah Cair. Bandar Lampung: Balai Penelitian dan Pengembangan Industri.

Moss B. Ecology of Fress Waters. London: Blackwell Scientific Publication.

Ping YC. 1994. Sulfites and Food. Taiwan: Food Industry and Development Taiwan Institute.

Salunkhe DK. 1976. Storage, Processing, and Nutritional Quality of Fruits and Vegetable. Ohio, USA: CRC Press.

Tinggalkan Balasan

Close Menu