PEMBUATAN BUBUK ALOE VERA SEBAGAI OBAT TRADISIONAL MELALUI PROSES FREEZE DRYING

  • Post author:
  • Post category:Artikel
Aloe

[ CV. Nutrima Sehatalami – Bogor ]. Lidah buaya (Aloe vera L.) merupakan tanaman asli Afrika, tepatnya Ethiopia, tanaman ini termasuk ke dalam golongan Liliaceae (March, 2006). Tanaman ini telah lama dikenal karena kegunaannya sebagai tanaman obat untuk aneka penyakit (Misawaa et al., 2008). Di seluruh dunia terdapat tak kurang dari 350 jenis lidah buaya. Mulai dari yang beracun sampai yang memiliki nilai ekonomis. Jenis varietas lidah buaya yang umum  dibudidayakan di Indonesia adalah varietas Chinensis baker dan Barbadensis miller (Yohanes, 2005).

Daun lidah buaya mengandung 96% air dan 4% sisanya terdiri dari 75 macam senyawa fitokimia. Senyawa ini bekerja secara sinergis (saling melengkapi) di tingkat sel tubuh, sehingga terkesan tubuh bisa menyembuhkan diri sendiri (biodefense) menghadapi serangan penyakit (Ingrid, 2000). Ada 75 senyawa (komponen aktif) yang terkandung dalam daun lidah buaya, salah satunya adalah vitamin dan asam amino (Koesnandar, 2005 dalam Latifah dan Apriliawan, 2009). Wahjono (2002) juga mengungkapkan bahwa lidah buaya (aloe vera) banyak mengandung senyawa nutrisi seperti asam amino (essensial dan non essensial), enzim, mineral, vitamin, polisakarida, dan komplek antraquinon. Senyawa-senyawa ini sangat penting dan dibutuhkan untuk kesehatan tubuh (Latifah dan Apriliawan, 2009). Beberapa jenis asam amino yang terkandung dalam lidah buaya termasuk jenis essensial bagi manusia. Lidah buaya mengandung 18 jenis asam amino dan 9 di antaranya adalah jenis asam amino essensial (Wahjono, 2002). Kebutuhan tubuh akan asam amino jenis ini harus didapatkan dari bahan makanan karena tubuh tidak dapat mensintesisnya sendiri atau jumlah produksinya sangat sedikit sehingga tidak memenuhi kebutuhan metabolisme (Yohanes, 2005).

Lidah buaya merupakan tanaman yang dapat dimanfaatkan, baik sebagai bahan pangan, untuk perawatan kecantikan tubuh, maupun sebagai obat. Khasiat dan manfaat lidah buaya sudah dikenal sejak berabad silam, di antaranya sebagai tanaman penyubur rambut dan obat luka. Zat yang dikandung dalam lidah buaya seperti saponin, lignin, anthraquinon, vitamin, mineral, gula, enzim, monopolisakarida, polisakarida, asam amino esensial dan sekunder memungkinkan tanaman ini menjadi bahan baku farmasi yang serba guna. Lebih jauh diketahui bahwa fraksi polisakarida dalam lidah buaya menunjukkan adanya antiviral activity yang mampu menguatkan fungsi sel dan menambah sistem kekebalan tubuh sehingga tanaman ini mempunyai kemungkinan untuk digunakan sebagai bahan pengobatan bagi penderita AIDS (Furnawanthi, 2002).

Di dalam pelepah lidah buaya, bahan yang diambil adalah cairan atau gel. Menurut Winarti dan Nurjanah (2005), gel ini memiliki sifat yang mudah rusak karena adanya kandungan nutrisi dan enzim. Kandungan air yang cukup tinggi juga membuat lidah buaya harus segera diproses setelah panen. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan kandungan gizi, meskipun lidah buaya utuh yang belum dikupas dapat bertahan lebih dari 3 minggu dalam ruang simpan yang kering dalam suhu kamar (Wahjono, 2002). Sifat gel lidah buaya yang mudah rusak mendorong dilakukannya upaya pengolahan menjadi bahan olahan seperti tepung. Upaya ini di samping untuk mempertahankan kandungan nutrisi dalam gel juga untuk memberikan nilai tambah karena penggunaan lidah buaya saat ini sangat beragam dari makanan, minuman, kosmetik, dan obat-obatan, sehingga lidah buaya tidak hanya dijual dalam bentuk pelepah segar yang relatif murah (Syahputra, 2008).

Aloe 3

Pengeringan gel lidah buaya dapat dilakukan menggunakan alat pengering seperti freeze dryer, spray dryer, dan cabinet dryer (Latifah dan Apriliawan, 2009). Alat-alat pengering tersebut memiliki masing-masing keunggulan dan kekurangan, seperti spray dryer yang biasa digunakan dalam produksi susu instan yang memiiki kelebihan waktu singkat dalam pengeringannya, kemudian freeze dryer yang menggunakan suhu rendah dalam pengeringannya, dan cabinet dryer yang jika dilihat dari sisi ekonomi membutuhkan biaya jauh lebih rendah dibandingkan dengan freeze dryer maupun spray dryer (Wirakartakusumah et al., 1992). Metoda pengeringan busa (foam-mat drying) atau pengeringan menggunakan gelombang mikro (microwave) juga dapat digunakan dalam pembuatan tepung lidah buaya dan membutuhkan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan metode spray drying dan freeze drying.

Gel lidah buaya sangat sensitif terhadap panas, cahaya, dan udara serta mudah mengalami oksidasi karena adanya enzim oksidase sehingga kontak dengan udara (oksigen) akan mempercepat terjadinya proses oksidasi tersebut. Oksidasi mengakibatkan gel lidah buaya berwarna coklat dan dikenal dengan istilah “browning reaction”. Browning reaction ini dapat terjadi secara enzimatis maupun non enzimatis. Kedua macam reaksi ini dapat menghasilkan perubahan warna bahkan merusak senyawa nutrisi yang terdapat dalam lidah buaya. Oleh karena itu, pada proses pengolahan lidah buaya, terjadinya perubahan sifat fisika-kimia tersebut dihindari semaksimal mungkin agar kualitas produk terjaga dan kandungan senyawa nutrisinya tidak rusak (Moroni, 1992 dalam Latifah dan Apriliawan, 2009). Pembuatan tepung lidah buaya dengan metode freeze drying menggunakan alat yang bekerja pada suhu dan tekanan yang sangat rendah. Dengan suhu rendah ini, komponen yang mudah rusak atau sensitif terhadap panas dapat dipertahankan (Hartulistiyoso et al., 2011).

Aloe 4

Pembuatan tepung lidah buaya diawali dengan proses pencucian, pemotongan, dan pengupasan kulit luar lidah buaya segar. Gel lidah buaya yang diperoleh diblansing pada suhu 70oC selama 10 menit, kemudian dihancurkan dan ditambahkan dekstrin 15%. Dekstrin berfungsi sebagai bahan pengisi (filler). Gonnissen et al. (2008) menyatakan bahwa pengolahan tepung memerlukan filler sebagai pengisi dengan tujuan untuk mempercepat pengeringan, mencegah kerusakan akibat panas, melapisi komponen flavour, meningkatkan total padatan, dan memperbesar volume. Menurut Stephen (1995) dalam Latifah dan Apriliawan (2009), dekstrin mempunyai sifat mudah larut dalam air, lebih cepat terdispersi, tidak kental, dan lebih stabil dari pati. Setelah itu, dilakukan proses homogenisasi sebelum dilakukan proses freeze drying dengan suhu -45oC. Lidah buaya kering yang masih kasar dihaluskan (grinding) dan diayak dengan ayakan 70 mesh (Latifah dan Apriliawan, 2009).

Berdasarkan hasil penelitian Latifah dan Apriliawan (2009), tepung lidah buaya yang dibuat dengan metode freeze drying memiliki nilai rendemen tertinggi dibandingkan dengan tepung lidah buaya yang dibuat dengan metode cabinet drying dan spray drying. Hal ini disebabkan karena sistem yang terdapat pada freeze dryer adalah sublimasi, dimana gel yang padat dengan adanya sistem panas dan udara dingin berubah menjadi kering. Selain itu, tepung lidah buaya yang dibuat dengan metode freeze drying memiliki kadar air yang rendah dan tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh dari metode spray drying walaupun metode freeze drying menggunakan suhu yang rendah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pengeringan gel lidah buaya menggunakan metode freeze drying meningkatkan kadar vitamin C sebesar 46.81%. Peningkatan kadar vitamin C ini lebih tinggi dibandingkan pada metode cabinet drying dan spray drying. Hal ini dikarenakan berkurangnya kadar air dari produk dan ditunjang dengan sistem pengeringan yang menggunakan medium vakum dan penggunaan suhu beku (-45oC) yang memungkinkan untuk mengurangi retensi vitamin C. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari Wirakartakusumah et al. (1992) bahwa selama proses pengeringan beku tidak ada migrasi zat yang larut air karena tidak adanya pergerakan air dalam bahan. Kondisi ini ditunjang dengan suhu rendah yang menghasilkan retensi flavor dan odor yang mudah menguap serta retensi aktivitas biologis yang tinggi.

Selain vitamin C, metode freeze drying juga menyebabkan peningkatan kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan metode lainnya, yaitu sebesar 33.65% dari bahan segar. Hal ini dikarenakan freeze dryer menggunakan ruang vakum dan suhu beku dalam proses pengeringannya. Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Winarno (1993) yang menyatakan bahwa freeze dryer memberikan keuntungan karena volume bahan tidak berubah, proses pengeringan lebih cepat, mutu bahan tidak berubah, dan daya rehidratasi tinggi sehingga mendekati bahan asalnya. Dari perbandingan komposisi asam amino, secara keseluruhan pada tepung lidah buaya didapatkan hasil terbaik melalui pengeringan dengan metode freeze drying. Hal ini dikarenakan metode tersebut menggunakan suhu beku dan udara vakum yang memungkinkan untuk menekan susut gizi yang diakibatkan oleh suhu panas yang digunakan oleh cabinet dryer maupun spray dryer. Hal ini sesuai dengan pendapat Harris dan Karmas (1989) bahwa semua asam amino dalam makanan peka terhadap udara panas kering. Pengolahan panas memang memungkinkan untuk memperpanjang dan menaikkan ketersediaan bahan pangan untuk konsumen, tetapi bahan pangan tersebut memiliki kadar gizi lebih rendah (dibandingkan dengan keadaan segarnya) (Lund, 1989).

Kontributor : Nastasya Putrinda Editha

DAFTAR PUSTAKA

Furnawanthi, I. 2002. Khasiat dan Manfaat Lidah Buaya. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Gonnissen, Y., Remon, J. P., dan Vervaet, C. 2008. Effect of Maltodextrin and Superdisintegrant in Directly Compressible Powder Mixtures Prepared Via Co-Spray Drying. European Journal of Pharmaceutics and Biopharmaceutics 68: 277–282

Harris, R. S. dan Karmas, E. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. ITB Press, Bandung.

Hartulistiyoso, E., Hasbulah, R., dan Priyana, E. 2011. Pengeringan Lidah Buaya (Aloe Vera) Menggunakan Oven Gelombang Mikro (Microwave Oven). JTEP: Jurnal Keteknikan Pertanian 25 (2): 141 – 146.

Ingrid, S. W. 2000. 12 Senyawa Mujarab Lidah Buaya. Femina, Jakarta.

Latifah dan Apriliawan, A. 2009. Pembuatan Tepung Lidah Buaya dengan Menggunakan Berbagai Macam Metode Pengeringan. Rekapangan: Jurnal Teknologi Pangan 3 (2): 70 – 80.

Lund, D. B. 1989. Pengaruh Pengolahan Panas terhadap Zat Gizi. Penerbit ITB, Bandung.

March. 2006. Aloe: The Health and Healing. APB Paris, Perancis.

Misawaa, E., Tanakaa, M., Nomaguchia, K., Yamadaa, M., Toidaa, T., Takaseb, M., Iwatsukia, K., dan Kawadac, T. 2008. Administration of Phytosterols Isolated from Aloe vera Gel Reduce Visceral Fat Mass and Improve Hyperglycemia in Zucker Diabetic Fatty (ZDF) Rats. Obesity Research & Clinical Practice 2: 239 – 245.

Ratti, C. dan Kudra, T. 2006. Drying of Foamed Biological Materials: Opportunities and Challenges. Journal Drying Technology 24(9): 1101 – 1108.

Syahputra. 2008. Pembuatan Tepung Lidah Buaya. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Wahjono, E. and Kusnandar. 2002. Mengebunkan Lidah Buaya Secara Intensif. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Winarno, F. G. 1993. Pangan: Gizi, Teknologi, dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Winarti, C. dan Nurjanah, N. 2005. Peluang Tanaman Rempah dan Obat Sebagai Sumber Pangan Fungsional. Jurnal Litbang Pertanian 24(2): 47 – 55.

Wirakartakusumah, A., Budiwati, S. I., Arpah, M., Subarna, dan Syah, D. 1992. Petunjuk Laboratorium Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudyaan, Dirjen Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor.

Yohanes, K. 2005. Olahan Lidah Buaya. Trubus Agrisarana, Surabaya.