Temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb) adalah salah satu tumbuhan obat keluarga Zingiberaceae yang banyak tumbuh dan digunakan sebagai bahan baku obat tradisional di Indonesia (Sidik et al. 1992; Prana 2008). Tumbuhan temulawak secara empiris banyak digunakan sebagai obat tunggal maupun campuran. Terdapat lebih dari dari 50 resep obat tradisional menggunakan temulawak (Achmad et al. 2007). Eksistensi temulawak sebagai tumbuhan obat telah lama diakui, terutama dikalangan masyarakat Jawa. Rimpang temulawak merupakan bahan pembuatan obat tradisional yang paling utama. Kasiat temulawak sebagai upaya pemelihara kesehatan, disamping sebagai upaya peningkatan kesehatan atau pengobatan penyakit. Temulawak sebagai obat atau bahan obat tradisional akan menjadi tumpuan harapan bagi pengembangan obat tradisional Indonesia sebagai sediaan fitoterapi yang kegunaan dan keamanan dapat dipertanggung jawabkan (Sidik et al. 1992).
Pengujian khasiat rimpang temulawak dapat diketahui melalui bukti empiris melalui pengujian secara in vitro, pengujian praklinis kepada binatang dan uji klinis terhadap manusia (BPOM 2004). Secara empiris rimpang temulawak diketahui memiliki banyak manfaat salah satunya potensi sebagai antioksidan (WHO 1999). Komponen aktif yang bertanggung jawab sebagai antioksidan dalam rimpang temulawak adalah kurkumin, demetoksikurkumin dan bisdemetoksikurkumin (Masuda 1992). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa rimpang temulawak mempunyai efek antioksidan. Penelitian Jitoe et al. (1992) menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan ekstrak temulawak ternyata lebih besar dibandingkan dengan aktivitas tiga jenis kurkuminoid yang diperkirakan terdapat dalam temulawak. Jadi, diduga ada zat lain selain ketiga kurkuminoid tersebut yang mempunyai efek antioksidan di dalam ekstrak temulawak. Demikian pula penelitian Rao (1995) bahwa kurkumin lebih aktif dibanding dengan vitamin E dan beta karoten. Hal ini dikarenakan peranan kurkumin sebagai antioksidan yang menangkal radikal bebas tidak lepas dari struktur senyawa kurkumin. Kurkumin mempunyai gugus penting dalam proses antioksidan tersebut. Struktur kurkumin terdiri dari gugus hidroksi fenolik dan gugus β diketon. Gugus hidroksi fenolik berfungsi sebagai penangkap radikal bebas pada fase pertama mekanisme antioksidatif. Pada struktur senyawa kurkumin terdapat 2 gugus fenolik, sehingga 1 molekul kurkumin dapat menangkal 2 radikal bebas. Gugus β diketon berfungsi sebagai penangkap radikal pada fase berikutnya. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran aktivitas antioksidan dan kurkumin pada ekstrak temulawak (curcuma xanthorrhiza roxb)
Rimpang temulawak mengandung bahan aktif yang potensial untuk kesehatan antara lain xanthorrizol, kurkuminoid dan minyak atsiri. Kandungan kurkuminoid dalam temulawak berkisar 1-2% dan kandungan minyak atsiri dalam temulawak berkisar 3-12% (Anand, P. Bioavailability of Curcumin: Problems and Promises. J Mol Pharmaceutics. 2007; 4(6): 807-18.)
Rimpang temulawak banyak dipergunakan sebagai bahan baku obat tradisional sebagai jamu, herbal terstandar dan obat fitofarmaka. Ekstrak temulawak mampu menghambat pertumbuhan bakteri Bacillus cereus, E. coli, Penicilium sp dan Rhizopus oryzae serta dapat juga menghambat Salmonella thypii (dapus : Padiangan M. Stabilitas antimikroba ekstrak temulawak (curcuma xanthorrhiza) terhadap mikroba patogen. Media Unika. 2010; 73(4): 365-73.)
Turunan senyawa fenol berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses adsorbsi yang melibatkan ikatan hidrogen dan dapat merubah permeablitas membran sel. Penghambatan pertumbuhan bakteri diduga karena adanya aktivitas dari senyawa fenol. Penetrasi fenol dengan kadar yang tinggi ke dalam sel dapat menyebabkan koagulasi protein dan lisis pada membran sel. Mekanisme penghambatan senyawa fenol adalah melalui pembentukkan ikatan hidrogen antara gugus hidroksil pada senyawa fenol dengan protein membran sel yang menyebabkan gangguan terhadap permeabilitas membran sehingga komponen sel yang esensial keluar dari dalam sel dan menyebabkan kematian bakteri.
Ekstrak temulawak 70% diduga mengandung minyak atsiri yang teroksigenasi yaitu Xanthorizol yang termasuk senyawa sesuiterpenoid.20 Senyawa kimia aktif yang terkandung dalam ekstrak rimpang temulawak adalah golongan terpenoid yaitu xanthorizol.
Temulawak memberikan pengaruh yang berbeda nyata dibandingkan dengan ekstrak segar Curcuma lainnya. Pengaruh yang diberikan terlihat dari diameter zona hambat yang terbentuk. (Dapus : Mangunwardoyo W, Deasywaty, Usia T. Antimicrobial and identification of active compound Curcuma xanthorrhiza Roxb. IJBAS-IJENS. 2012; 12(1): 71-3.)
Diameter daya hambat ekstrak segar rimpang Curcuma dapat dikelompokkan berdasarkan kategori daya hambat Davis Stout. Ekstrak segar rimpang temulawak dikategorikan sangat kuat dalam menghambat pertumbuhan bakteri E. coli (31,56 mm) karena melebihi standar kategori daya hambat sangat kuat yaitu ≥20 mm dan dikatakan kuat dalam menghambat S. aureus (15,75 mm) dan C. albicans (13,07 mm) dengan standar kategori daya hambat kuat sebesar 10-20 mm. Daya hambat yang dibentuk Curcuma lainnya berkisar 8-11 mm hal ini dikategorikan sedang (S) (5-10 mm).
Respon daya hambat pertumbuhan mikroba yang dihasilkan dipengaruhi oleh kandungan senyawa aktif yang terdapat dalam rimpang Curcuma seperti minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, tanin, kurkuminoid dan terpenoid. Senyawa flavonoid mampu merusak dinding sel sehingga menyebabkan kematian sel. Flavonoid juga dapat menghambat pembentukan protein sehingga menghambat pertumbuhan mikroba.
Rimpang temulawak bermanfaat untuk mengobati sakit maag, diare, ambeien, batuk, asma dan sariawan serta penambah nafsu makan. Temulawak memiliki tujuh khasiat yaitu untuk memperbaiki nafsu makan, memperbaiki fungsi pencernaan, memelihara fungsi hati, meredakan nyeri sendi dan tulang, menurunkan lemak darah dan antioksidan.
Kandungan dalam temulawak berisi senyawa-senyawa kimia yang memiliki kandungan aktif secara fisiologi, yaitu kurkuminoid dan minyak atsiri. Kandungan kurkuminoid dalam temulawak berfungsi sebagai anti- bakteria, anti-kanker, anti-tumor, serta mengandung antioksidan. Kandungan kurkuminoid dalam temulawak berkisar 1-2% dan kandungan minyak atsiri dalam temulawak berkisar 3-12%. Ekstrak rimpang temulawak bersifat antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermis, Bacillus cereus, Streptococcus mutans yang merupakan bakteri gram positif.
Pengolahan temulawak menjadi berbagai pangan olahan dapat menarik minat masyarakat untuk mengonsumsi temulawak. Dalam bentuk produk olahan pangan, rasa dan aroma khas temulawak dapat tertutupi. Penyajian dan pengemasan yang menarik meningkatkan minat konsumen pada produk olahan temulawak. Produk makanan dengan fortifikasi temulawak mempunyai keunggulan dari sisi kesehatan. Masa simpan temulawak juga meningkat sehingga akan meningkatkan nilai tambah temulawak.
Penggunaan temulawak sebagai pewarna alami bahan pangan diharapkan akan menggeser penggunaan pewarna sintetis yang selama ini sering digunakan. Peraturan penggunaan bahan pewarna yang diizinkan dan yang dilarang untuk makanan sudah diatur melalui SK Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 tentang bahan tambahan makanan. Dalam kenyataannya sering terjadi pemakaian bahan pewarna yang berbahaya untuk makanan (Anzar 2016).
Temulawak berpotensi sebagai pewarna alami pada makanan karena warnanya kuning cerah. Kurkumin bermanfaat bagi tubuh karena dapat menghambat pertumbuhan sel kanker (Cheah et al. 2006). Olahan pangan temulawak mempunyai nilai tambah yang bermanfaat bagi kesehatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa temulawak berpeluang dikembangkan sebagai pangan fungsional karena selain budi dayanya mudah, juga mempunyai manfaat untuk kesehatan. Temulawak mengandung kurkumin, pati, dan minyak atsiri yang dibutuhkan oleh tubuh.