Indonesia memiliki keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia yang diekspresikan oleh sejumlah besar tanaman obat asli. Berdasarkan kayanya sumber daya tanaman obat ini, sebagian besar orang Indonesia khususnya daerah pedalaman menggunakan obat-obatan herbal tradisional yang dikenal sebagai jamu totreat. Jamu adalah kata dalam bahasa suku Jawa, yang berarti obat tradisional dari tanaman. Mineral, hewan, dan bagiannya juga telah digunakan tetapi bukan bagian dari tinjauan ini. Saat ini, jamu telah diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia dengan makna yang sama (Riswan dan Roemantyo, 2002). Jamu gendong adalah jenis jamu tradisional yang dijual tanpa alabel dan baru disiapkan (tidak diawetkan) dari bahan tanaman di warung, warung-warung di mana-mana di sepanjang jalan di Indonesia (Limyati dan Juniar, 1998; Suharmiati, 2003). Jamu gendong disediakan untuk siapa saja yang memesan jamu ini untuk persiapan. Penjual membawa jamu dari pintu ke pintu. Kata gendong itu sendiri berarti membawa sesuatu di belakang tubuh. Jamu segar dimasukkan ke dalam botol dan disimpan di keranjang bambu atau rotan dan mereka menggunakan selendang panjang lebar yang disebut selendang untuk membawa keranjang di punggung mereka (Riswan dan Riemantyo, 2002). Saat ini produksi jamu juga dikembangkan pada skala industri. Pemerintah, industri, dan akademisi Indonesia semuanya mengakui bahwa untuk memajukan pengembangan jamu, diperlukan penelitian yang luas untuk membangun keamanan dan kemanjuran dari banyak persiapan jamu tradisional.
Jamu, sebagai obat tradisional yang muncul dari pengalaman masa lalu dan tertanam dalam budaya masyarakat, tidak bisa berhenti tetapi terus berubah dan berkembang. Seiring dengan pengobatan konvensional, ia berbagi masalah dalam penggunaan yang tepat dan rasional. Ini termasuk kualifikasi dan lisensi penyedia, penggunaan yang tepat dari produk berkualitas baik, komunikasi yang baik antara penyedia obat tradisional dan pasien dan penyediaan informasi ilmiah dan panduan kepada publik (WHO, 2002). WHO mendorong penggunaan dan pengembangan obat tradisional sebagai cara yang mudah diakses dan terjangkau untuk menyediakan perawatan kesehatan bagi semua orang (WHO, 2005). Meskipun efek farmakologis dari beberapa konstituen jamu telah dicatat, ada kekurangan nyata dari catatan atau data tertulis yang melaporkan keefektifan obat jamu, terutama jamu gendong. Untuk memastikan penggunaan yang benar dari produk-produk tersebut, pemerintah Indonesia (NADFC) telah membagi tanaman obat menjadi tiga kategori berdasarkan cara mereka disiapkan dan berdasarkan penilaian bukti kemanjurannya, obat-obatan herbal terstandar, dan fitofarmaka (fitomedisin; peraturan nr. HK.00.05.4.2411, 2004). Semua persiapan harus memenuhi kriteria keselamatan dasar. Efek terapi jamu harus didukung oleh data empiris. Kemanjuran obat-obatan herbal terstandarisasi harus dibuktikan dalam uji praklinis dan standardisasi pada bahan aktif diperlukan, sedangkan untuk kemanjuran fitofarmaka, uji klinis harus dilakukan. Pemerintah Indonesia telah meluncurkan Pusat Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (Sentra P3T) pada tahun 1995. Kegiatan-kegiatan Centre mencakup penelitian tentang obat-obatan herbal, pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia serta layanan perawatan berbasis obat-obatan herbal. Program-program lain termasuk pemilihan, pengujian, sertifikasi, registrasi / lisensi, inventaris, penyaringan, pengujian klinis, pemanfaatan dan evaluasi obat tradisional, dan penyusunan undang-undang yang berlaku untuk perawatan tradisional.
Untuk memfasilitasi kegiatan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati tanaman obat Indonesia sebagai obat dan makanan fungsional, Pemerintah Indonesia, melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), telah meluncurkan Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan 2003-2020 (IBSAP). IBSAP didasarkan pada evaluasi rencana aksi sebelumnya dari tahun 1993 yang disebut BAPI (Biodiversity Action Plan for Indonesia), merumuskan kolaborasi antara Pemerintah Indonesia (BAPPENAS), Kementerian Lingkungan Hidup, lembaga penelitian dan pemangku kepentingan non-pemerintah dengan dukungan internasional lembaga pengembangan.
Jamu asli (jamu gendong) disiapkan dalam bentuk rebusan dan dijual oleh wanita yang membawa jamu di punggung mereka. Jamu gendong diproduksi oleh industri rumahan menggunakan metode tradisional. Pembuat jamu tradisional menyadari masalah yang berkaitan dengan kebersihan, sanitasi, dan kontaminasi bahan kimia dari sumber biologis atau non-biologis (seperti bakteri dan jamur, logam berat). Mereka mencoba melindungi bahan tanaman mentah dan produk dari kontaminasi, meskipun ini tidak mungkin untuk memenuhi dengan standar industri internasional. Metode persiapan sering berbeda dari produsen ke produsen, dan langkah-langkah produksi seperti pemilihan bahan baku, pemilahan, kisi, pengikisan, penghancuran, pencampuran dan pemasakan, diikuti dengan merebus bahan tanaman dengan cara yang higienis dapat berbeda secara signifikan. Untuk memastikan keselamatan publik, dianggap bahwa pelatihan profesional diperlukan untuk memastikan standar tertentu seperti identifikasi bahan baku yang digunakan dalam jamu menurut Materia Medika Indonesia (MMI), sedangkan untuk bukti kemanjuran uji klinis fitofarmaka harus dilakukan. Pembuat jamu harus dilatih dalam metode produksi higienis dan penggunaan teknik semimodern seperti metode ekstraksi skala kecil. Aspek yang paling penting dari institusi pendidikan akademis adalah pengenalan aspek ilmiah jamu. Dari industri rumahan, jamu telah dikembangkan dan sekarang diproduksi oleh industri yang disebut IKOT (Industri Kecil Obat Tradisional) dan IOT (Industri Obat Tradisional). Untuk mempersiapkan jamu, IKOT dan IOT menggunakan teknologi modern dan iractivities didasarkan pada pendekatan ilmiah: tidak tradisional tetapi berdasarkan bukti, didukung dengan data penelitian. Mereka harus mengikuti arahan untuk produksi manufaktur yang baik (GMP). Saat ini jamu yang diproduksi secara industri tidak lagi hanya disiapkan dalam bentuk rebusan, tetapi juga dalam bentuk atablet, pil, bubuk, pastille, kapsul, ekstrak, krim atau salep.
Antikanker
Tumbuhan dari keluarga Zingiberaceae adalah bahan jamu yang paling sering digunakan. Sebelas spesies Curcuma (Curcumaaeruginosa, C. aurantiaca, C. colorata, C. domestica, C. euchroma, C. mangga, C. petiolata, C. purpurascens, C. soloensis, C. xanthorrhizae, dan C. zedoria) telah digunakan secara tradisional sebagai rempah-rempah dan untuk mengobati beberapa penyakit seperti radang usus buntu, asma, gatal, rematik, abdominalgia, anemia, hipertensi, diare, dan disentri (Hatcheret al., 2008). Curcumin adalah konstituen fenolik utama dari genus terutama di rhizoma tumerik (C. domestica). Meskipun C. domestica juga dikenal sebagai C. longa, belum secara tradisional digunakan untuk tujuan anti kanker, investigasi baru-baru ini menunjukkan bahwa tanaman ini memiliki efek yang menjanjikan di daerah ini, terutama dianggap berasal dari kurkumin (Gupta et al., 2012). Mekanisme anti kanker aksi curcumin sebagian telah dijelaskan. Menginduksi apoptosis memainkan peran penting. Lebih jauh lagi, ini mengurangi perkembangan siklus sel di sana dengan mencegah pertumbuhan sel kanker (Chattopadhyay et al., 2004; Karunagaran et al., 2005).
Antidiabetes
Diabetes mellitus dikenali dari peningkatan kadar glukosa dalam darah dan sering disertai dengan gejala haus, poliuria, penurunan berat badan, dan pingsan. Tanaman obat yang digunakan secara klinis untuk mengobati diabetes telah menunjukkan aktivitas antidiabetes mereka secara in vitro, in vivo (dalam model hewan) dan dalam studi klinis. Ekstrak metanol dan air yang berasal dari A. galanga menyebabkan penurunan kadar glukosa darah kelinci normal yang sangat signifikan (Akhtaret al., 2002). Senyawa glucosidic 4′-O-methylpiceid dan rhapontin, diisolasi dari akar kelembak (R. palmatum) yang dikumpulkan dari pasar di Indonesia menunjukkan aktivitas penghambatan alfa-glukosidase sedang secara in vitro. Inisiasi aktivitas alfa-glukosidase mungkin efektif dalam mengendalikan kadar glukosa darah abnormal pada penyakit metabolik seperti diabetes (Kubo et al., 1991).
DAFTAR PUSTAKA
Limyati, D.A., Juniar B.L.L. 1998. Jamu Gendong, A Kind of Traditional Medicine In Indonesia: The Microbial Contamination of Its Raw Materials and End Product. Journal Ethnopharmacol 6: 201-208.
Riswan S, Roemantyo HS. Jamu as traditional medicine in Java. Indonesia.South Pacific Study 2002, 23(1): 1-10.
Suharmiati. 2003. Menguak Tabir dan Potensi Minuman tradisional Gendong. Penerbit Agromedia Pustaka. Jakarta.